Jumat, 06 Maret 2009

DINAMIKA KELUARGA PADA MASA HAMIL

DINAMIKA KELUARGA PADA MASA HAMIL

Kehamilan melibatkan seluruh anggota keluarga, dengan hadirnya seorang anggota keluarga baru sehingga terjadi perubahan hubungan dalam keluarga. Maka setiap anggota keluarga harus beradaptasi terhadap kehamilan dan menginterpretasinya berdasarkan kebutuhan masing-masing (Grossman, Eichler, Winckoff, 1980).

I. ADAPTASI MATERNAL

Wanita, dari remaja sampai wanita usia 40-an, menggunakan masa hamil 9 bulan untuk beradaptasi terhadap peran ibu. Adaptasi ini merupakan proses social dan kognitif kompleks yang bukan didasarkan pada naluri, tetapi dipelajari (Rubin, 1967a; Affonso dan Sheptak, 1989).

Untuk menjadi seorang ibu, remaja harus beradaptasi dari kebiasaan dirawat ibu menjadi seorang ibu yang melakukan perawatan.

Kehamilan adalah suatu krisis maturitas yang dapat menimbulkan stress, tetapi berharga karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk memberi perawatan dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar.

Secara bertahap, seorang wanita akan berubah dari seseorang yang bebas dan berfokus pada diri sendiri menjadi seorang yang seumur hidup berkomitmen untuk merawat individu lain. Menurut Rubin,1967a; Lederman,1984; Stainton,1985) pertumbuhan ini membutuhkan penguasaan tugas-tugas perkembangan tertentu diantaranya adalah :

1.1 Menerima kehamilan.

Langkah pertama dalam beradaptasi terhadap peran ibu adalah menerima ide kehamilan dan mengasimilasi status hamil ke dalam gaya hidup wanita tersebut (Lederman, 1984). Tingkat penerimaan dicerminkan dalam kesiapan wanita dan respons emosionalnya dalam menerima kehamilan:

1.1.1 Kesiapan menyambut kehamilan.

Wanita yang siap menerima suatu kehamilan akan dipicu gejala-gejala awal untuk mencari validasi medis tentang kehamilannya. Namun beberapa wanita menunda validasi medis karena akses ke perawatan terbatas, merasa malu, atau karena alas an budaya. Bagi sebagian orang kehamilan dipandang sebagai suatu peristiwa alami, sehingga tidak perlu mencari validasi medis dini.

Setelah kehamilan dipastikan, respons emosi wanita dapat bervariasi, dari perasaan sangat gembira sampai syok, tidak yakin, dan putus asa.

1.1.2 Respons emosional.

Wanita yang bahagia dan senang dengan kehamilannya sering memandang hal tersebut sebagai pemenuhan biologis dan merupakan bagian utama dari rencana hidupnya. Perubahan mood yang cepat umum dijumpai pada wanita hamil. Perubahan hormonal, merupakan bagian respons ibu terhadap kehamilan, dapat menjadi penyebab perubahan mood, hamper sama seperti saat mereka akan menstruasi atau selama menopause.

1.1.3 Respon terhadap perubahan citra tubuh.

Sikap wanita terhadap tubuhnya diduga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakininya dan sifat pribadinya. Sikap ini sering berubah seiring kemajuan kehamilan. Sikap positif terhadap tubuh biasanya biasanya terlihat selama transmitter pertama. Namun, seiring kemajuan kehamilan, perasaan tersebut menjadi lebih negatif.

1.1.4 Ambivalensi selama masa hamil.

Ambivalensi didefinisikan sebagai konflik perasaan yang simultan, seperti cinta dan benci terhadap seseorang, sesuatu, atau suatu keadaan. Ambivalensi adalah respon normal yang dialami individu yang mempersiapkan diri untuk suatu peran baru.

Pernyataan seseorang tentang kecantikan seseorang wanita yang tidak hamil atau peristiwa promosi seorang kolega ketika keputusan untuk memiliki seorang anak berarti melepaskan pekerjaan dapat meningkatkanrasa ambivalen.

Perasaan ambivalen berat yang menetap sampai trimester ketiga dapat mengindikasikan bahwa konflik peran sebagai ibu belum diatasi (Lederman, 1984).

1.2 Mengidentifikasi peran ibu.

Proses mengidentifikasikan peran ibu dimulai pada awal setiap kehidupan seorang wanita, yakni melalui memori-memori ketika ia sebagai seorang anak diasuh oleh ibu.

Peran-peran batu loncatan, seperti bermain dengan boneka, menjaga bayi, dan merawat adik-adik, dapat meningkatkan pemahaman tentang arti menjadi seorang ibu.

1.3 Mengatur kembali hubungan antara ibu dan anak perempuan serta antara dirinya dan pasangannya, serta membangun hubungan dengan anak yang belum lahir.

1.3.1 Hubungan ibu dan anak perempuan

Hubungan antara wanita dan ibunya terbukti signifikan dalam adaptasi terhadap kehamilan dan menjadi ibu (Rubin, 1967a, b; Mercer, Hackley, Bostrom, 1982). Lederman (1984) mencatat empat komponen penting hubungan antara seorang wanita hamil dan ibunya :

Ø Kesediaan ibu (pada masa lalu dan saat ini)

Keberadaan ibu disisi anak perempuannya selama masa kanak-kanak sering kali berarti ibu juga akan hadir dan mendukung selama anaknya hamil.

Ø Reaksi ibu terhadap kehamilan anaknya

Reaksi ibu terhadap kehamilan anaknya menandakan penerimaannya terhadap cucu dan anak perempuannya. Apabila ibu mendukung, anak perempuannya bisa memiliki kesempatan untuk membicarakan kehamilan dan persalinan serta rasa suka cita atau rasa ambivalen dengan seorang wanita yang memiliki pengetahuan dan menerima kehamilan.

Ø Penghargaan otonomi anak perempuannya

Ibu menghormati otonomi anak perempuannya membuat rasa percaya diri anak perempuannya tumbuh.

Ø Kesediaan ibu untuk menceritakan kenangannya

Mendengarkan pengalaman melahirkan seorang calon nenek membantu wanita hamil mengantisipasi dan mempersiapkan diri menghadapi persalinan dan kelahiran. Mendengar cerita tentang dirinya pada masa kanak_kanak membuat wanita hamil merasa dicintai dan diinginkan.

1.3.2 Hubungan dengan pasangan

Orang yang paling penting bagi seorang wanita hamil biasanya ialah ayah sang anak (Richardson, 1983). Wanita yang diperhatikan dan dikasihi oleh pasangan prianya selama hamil akan menunjukkan lebih sedikit gejala emosi dan fisik, lebih sedikit komplikasi persalinan, dan lebih mudah melakukan penyesuaian selama masa nifas. Ada dua kebutuhan utama yang ditunjukkan wanita selama mereka hamil:

Ø Menerima tanda-tanda bahwa ia dicintai dan dihargai

Ø Merasa yakin akan penerimaam pasangannya terhadap sang anak dan mengasimilasi bayi tersebut ke dalam keluarga

Lederman (1984) melaporkan bahwa hubungan istri dan suami bertambah dekat selama masa hamil. Dalam studinya, ia mengatakan bahwa kehamilan berdampak mematangkan hubunagn suami istri akibat peran dan aspek-aspek yang baru yang ditemukan dalam diri masing-masing pasangan.

1.3.3 Hubungan seksual

Selama trimester pertama seringkali keinginan seksual wanita menurun, terutama jika ia merasa mual, letih dan mengantuk. Saat memasuki trimester kedua kombinasi antara pasangan sejahteranya dan kongesti pelvis yang meningkat dapat sangat meningkatkan keinginan untuk melampiaskan seksualitasnya. Pada trimeelster ketiga, peningkatan keluhan somatic (tubuh) dan ukuran tubuh dapat menyebabkan kenikmatan dan rasa tertarik terhadap seks menurun (Rynerson, Lowdermilk, 1993)

Dengan membicarakan perubahan-perubahan yang mereka alami, pasangan dapat mendefinisikan masalah mereka dan menawarkan dukungan yang diperlukan. Perawat dapat memperlancar komunikasi antara pasangan dengan berbicara kepada pasangan tentang perubahan pasangan dan perilaku yang mungkin dialami wanita selama masa hamil (Rynerson, Lowdermilk, 1993)

1.3.4 Hubungan ibu dan anak

Ikatan emosional dengan anak mulai timbul pada periode prenatal. Hubungan ibu dan anak terus berlangsung sepanjang masa hamil sebagai suatu proses perkembangan.

Ada tiga fase dalam pola perkembangan tersebut :

1. fase pertama

Wanita menerima fakta biologis kehamilan, mereka menyatukan anak tersebut kedalam tubuh dan citra dirinya.

2. fase kedua

Wanita memasuki periode tenang dan menjadi lebih mawas diri. Wanita memusatkan perhatian pada anak yang dikandungnya. Suami dan anak-anak lain terkadang merasa diacuhkan.

3. fase ketiga

Ibu mulai realistis mempersiapkan diri untuk melahirkan dan mengasuh anaknya. Wanita dan anggota keluarga lain dapat berinteraksi dengan anak dalam kandungannya dengan berbicara pada janin dan mengelus perut bayi.

1.4 Persiapan melahirkan

Banyak wanita, khususnya wanita nulipara, secara aktif mempersiapkan diri untuk menghadapi persalinan. Mereka akan mencari orang terbaik untuk memberi mereka nasehat ,arahan, dan perawatan. Wanita multipara memiliki pengalaman tersendiri dalam melahirkan dan bersalin, yang mempengaruhi pendekatan dalam mempersiapkan diri menghadapi persalinan.

II. ADAPTASI PATERNAL

Sebagian pria menganggap kehamilan sebagai bukti kejantanannya dan tidak berfikir sama sekali tentang tanggung jawabnya terhadap ibu dan anak. Akan tetapi, bagi kebanyakan pria kehamilan dapat merupakan kesempatan ia dengan sungguh-sungguh mempersiapkan diri menjadi seorang ayah.

Respon emosi pria terhadap peran seorang ayah, kekawatirannya dan kebutuhannya akan informasi berubah-ubah sepanjang masa hamil. May (1982c) menguraikan tiga tahap yang menandai tiga tugas pengembangan yang dialami ayah yang menantikan bayinya :

a. Fase pengumuman

Dapat berlangsung beberapa jam sampai beberapa minggu. Tugas perkembangannya ialah menerima fakta biologis akan kehamilan. Reaksi pria terhadap kepastian akan kehamilan meliputi rasa suka cita atau rasa terkejut, tergantung apakah kehamilan itu diinginkan atau tidak diinginkan.

b. Fase moratorium

Merupakan periode penyesuaian terhadap kenyataan hamil. Tugas perkembangan pada fase ini adalah menerima kehamilan. Tahap ini dapat relative singkat atau berlangsung terus sampai trimester terakhir.

c. Fase Pemusatan

Dimulai pada masa trimester terakhir dan ditandai dengan keterlibatan aktif sang ayah, baik dalam kehamilan maupun dalam hubungan denagn anaknya. Tugas perkembangannya ialah bernegosiasi dengan pasangannya tentang peran yang ia lakukan selama masa bersalin dan mempersiapkan diri menjadi orang tua.

2.1 Menerima Kehamilan

2.1.1 Kesiapan Menyambut Kehamilan

May (1982c) menemukan bahwa kesiapan ayah untuk menyambut suatu kehamilan dicerminkan dalam tiga aspek:

a. Keuangan yang relative cukup

Penyesuaian dalam keuangan harus dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap penurunan pendapatan dan peningkatan pengeluaran karena kehadiran seorang anggota keluarga baru.

b. Hubungan yang stabil dengan pasangan

Pasangan yang memiliki hubungan yang stabil sebelum kehamilan terjadi cenderung menjadi lebih dekat karena akan berperan sebagai orang tua (Laderman, 1984).

c. Kepuasan dalam hubungan memiliki anak

Kehamilan pasangannya akan mengakhiri periode tanpa anak kehidupan seorang pria. Banyak pria memandang status memiliki anak dan menjadi ayah sebagai bagian dari rencana kehidupan mereka. Pasangan yang merencanakan kehamilan lebih mudah menerima kehamilan (Laderman, 1984).

2.1.2 Respons Emosi

Pria menunjukkan berbagai respons emosi terhadap kehamilan pertama pasangannya. Dalam studi yang dilakukan oleh May, ditemukan tiga gaya kas:

a. Gaya Pengamat

Sikap menjauhi kehamilan. Ayah yang bahagia menyambut kehamilan menunjukkan sikap mendukung pasangannya dan ingin menjadi ayah yang baik. Akan tetapi, karena nilai budaya dan merasa malu, mereka menjauhkan diri dari aktifitas, seperti mengikuti kelas prenatal, membuat keputusan tentang menyusui dan memilih perawatan professional.

b. Gaya Ekspresif

Respons emosi yang kuat terhadap kehamilan dan keinginan untuk menjadi pasangan secara penuh dalam rencana mereka. Suami menunjukkan kesadaran akan kebutuhan istri mereka untuk memperoleh dukungan dan menyadari saat-saat mereka tidak mampu memberi dukungan yang istri mereka perlukan.

c. Gaya instrumental

Diperlihatkan oleh pria yang menekankan bahwa tugasnya harus diselesaikan dan memandang dirinya sebagai pengurus atau menejer kehamilan. Mereka merasa bertanggung jawab akan hasil akhir kehamilan dan melindungi serta mendukung istrinya.

2.2 Identifikasi Peran Ayah

Setiap ayah mempunyai sikap yang mempengaruhi prilakunya terhadap suatu kehamilan. Dengan sikap tersebut, ia menyesuaikan diri terhadap kehamilan dan peran sebagai orang tua. Sama seperti ibu calon ayah juga memerlukan dukungan saat ia mempersiapkan diri untuk peran barunya.

Empat jenis dukungan yang diperlukan untuk mempersiapkan diri menjadi ayah, seperti yang digambarkan oleh House (1981), memberi pedoman yang dapat digunakan perawat yang memberi asuhan pada calon ayah antara lain:

1) Dukungan emosi

Sumber utama dukungan pria ialah pasangannya. Dukungan ini harus dimodifikasi, sehingga memungkinkan untuk mengasuh bayi dan memberikan asuhan tambahan terhadap kebutuhan istrinya. Oleh karena itu para ayah perlu mencari dukungan dari keluarga dan teman-temannya.

2) Dukungan instrumental

Ayah perlu mengetahui bahwa ia dapat bergantung kepada keluarga atau teman-temannya, jika memerlukan bantuan.

3) Dukungan informasi

Ayah perlu mengetahui siapa saja yang dapat memberikan nasehat tentang cara menyelesaikan persoalan yang tiba-tiba muncul.

4) Dukungan penilaian

Ayah perlu menemukan orang lain yang dapat memberikan criteria yang dapat digunakan untuk mengukur keterampilannya

2.3 Hubungan dengan pasangan.

Menurut literature psikoanalisis, beberapa aspek prilaku pria menunjukkan adanya persaingan. Persaingan langsung dengan janin dapat tampak jelas, terutama selama aktivitas seksual. Pria mungkin merasakan dukungan istrinya, yang sebenarnya merupakan dukungan utama bagi sang suami berkurang (Jordan,1990).

2.4 Hubungan ayah-anak

Ikatan ayah-anak dapat sama kuat dengan hubungan ibu-anak, dan ayah dapat semampu ibu dalam mengasuh bayi. Perilaku ayah terhadap anak tidak secara nyata berbeda dari perilaku ibu, kecuali dalam hal bermain dengan bayi.

Dalam banyak hal pria mempersiapkan diri untuyk menjadi ayah dengan cara sama yang dilakukan wanita dalam mempersiapkan diri untuk menjadi ayah denagn cara sama yang dilakukan wanita dalam mempersiapkan diri untuk menjadi ibu, misalnya membaca, membayangkan, dan melamunkan bayinya. Pria menyesuaikan segala kegiatan yang dahulu yang biasa dilakukan dengan tanggungjawabnya yang baru, sehingga memungkinkannya menyediakan waktu untuk keluarga barunya.

2.5 Antisipasi persalinan

Hari-hari dan minggu-minggu menjelang tanggal lahir yang diperkirakan ditandai oleh tindakan antisipasi dan rasa cemas.

Perhatian utama ayah ialah membawa ibu kefasilitas medis tepet waktu untuk bersalin dan tidak menunjukkan sikap acuh. Banyak ayah ingin mengetahui saat persalinan dan menentukan saat yang tepat untuk pergi ke rumah sakit atau memanggil pemberi jasa pelayanan kesehatan.

III. ADAPTASI KAKEK-NENEK

Kakek nenek adalah penghubung utama generasi (Horn, Manion, 1985). Calon kakek nenek dapat merupakan sumber krisis maturasi bagi calon orangtua. Kehamilan tidak dapat disangkal lagi, merupakan bukti bahwa individu kini berusia cukup untuk memiliki seorang anak yang akan melahirkan cucunya.

Kebanyakan kakek-nenek sangat gembira menantikan kehadiran cucunya. Hal ini membangkitkan kembali perasaan mereka saat mereka masih muda, rasa suka cita menantikan kelahiran dan menjadi orangtua baru sewaktu anak-anak masih bayi. Kakek-nenek berperan sebagai sumber yang potensial untuk keluarga. Dukungan mereka yang menguatkan keluarga dengan memperluas lingkup pendukung dan asuhan (Barranti, 1985).

Supaya benar-benar berpusat pada keluarga, perawatan maternitas harus melibatkan kakenk-nenek dalam proses perawatan keluarga pasangan usia subur, untuk memantapkan penyesuaian diri terhadap peran kakek-nenek dalam system keluarga, dan meningkatkan komunikasi antar generasi (Maloni, Mclndoe, Rubenstein, 1987).

IV. ADAPTASI SAUDARA KANDUNG

Berbagai berita kehadiran seorang adik baru dapat merupakan krisis utama bagi seorang anak. Beberapa factor yang mempengaruhi respons seseorang anak antara lain umur, sikap orangtua, peran ayah, lama waktu berpisah dengan ibu, peraturan kunjungan di rumah sakit, dan bagaimana anak itu dipersiapkan untuk suatu perubahan (Spero, 1993; Fortier,dkk,1991).

Respon seudara kandung terhadap kehamilan berbeda-beda, bergantung pada usia dan kebutuhan mereka. Anak usia setahun mungkin tidak banyak menyadari proses ini, tetapi anak usia dua tahun memperhatikan perubahan pada penampilan ibunya. Pada usia tiga atau empat tahun, anak-anak ingin diceritakan asal muasal mereka dan menerimanya sebagai hal yang sama dengan kehamilan ibu saat ini. Anak usia sekolah menunjukkan minat klinis terhadap kehamilan ibunya. Remaja awal dan pertengahan, yang pikirannya dipenuhi pengenalan akan identitas seksual mereka, mungkin mengalami kesulitan untuk menerima bukti nyata aktivitas seksual orangtua mereka. Remaja lanjut tampak tidak begitu peduli.

V. MENJADI ORANGTUA SETELAH USIA 35 TAHUN

Ada dua kelompok orangtua usia lanjut dalam populasi wanita yang memiliki anak pada periode lanjut masa usia subur mereka. Kelompok pertama terdiri dari orangtua yang memiliki banyak anak atau memiliki anak pada usia menopause.

Kelompok kedua yaitu mereka yang merupakan pendatang baru dalam perawatan maternitas, mereka dalah wanita yang dengan sengaja menunda kelahiran anaknya sampai usia 30-an atau awal 40-an.

5.1 Wanita Multipara

Wanita multipara adalah mereka yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi karena pilihan pribadi atau kurang p-engetahuan tentang kontrasepsi atau justru mereka yang telah menggunakan kontrasepsi dengan berhasil pada masa usia subur mereka.

Menjelang akhir menopause, menstruasi teratur wanita pada kelompok terakhir telah berhenti, mereka berhenti menggunakan kontrasepsi dan akibatnya menjadi hamil.

Wanita multipara usia lanjud seringkali meras penggeseran tempat, berfikir kehamilan mengasingkannya dari teman sebayanya dan usia lanjud menghalanginya berhubungan dengan ibu-ibu muda (Hogan, 1979). Sedang orang tua lain menantikan anak yang tidak disangkanya sebagai bukti berlanjutnya peran mereka sebagai ibu dan ayah. Adalah penting untuk melibatkan keluarga dalam persiapan kelahiran.

5.2 Wanita Nulipara

Jumlah wanita yang untuk pertama kali hamil pada usia antara 35 dan 40 tahun meningkat sebesar 40%. Kelahiran anak pada kelompok usia ini meningkat sebesar 37% sejak tahun 1985. Alasan yang melandasinya ialah pendidikan tinggi, prioritas, karier dan sarana kontrasepsi yang baik.

Wanita kelompok ini memilih menjadi orang tua ketimbang memilih gaya hidup bebas anak. Mereka seringkali sudah mencapai kesuksesan dalam kerier dan memilih gaya hidup bersama pasangan yang memungkinkan mereka memiliki waktu untuk memperhatikan diri mereka sendiri, memiliki rumah tangga dengan akumulasi harta, dan bebas bepergian

Robinson, dkk, (1987) mengatakan bahwa wanita usia lanjut tidak terlalu kawatir akan kehamilan dan dapat menyesuaikan diri dengan lebuh baik dengan memasuki trimester ketiga kehamilannya. Akan tetapi, pada kenyataannya perawatan anak terbukti sulit bagi mereka. Ibi yang terbiasa dengan stimulasi dan kontak dengan sesama orang dewasa merasa sulit menerima diri mereka terisolasi denagn bayinya. Mereka juga harus melibat anak ke dalam system keluarga yang telah terbentuk dan bernegosiasi untuk suatu peran baru (peran orang tua, peran saudara kandung, peran kakek nenek) untuk anggota keluarganya.

Tidak ada komentar: